Pengesahan UU TNI? Ini Pandangan Hukum Dr. I Made Subagio, S.H., M.H.,: Perlu Keseimbangan dalam Implementasi

Jumat, 21 Maret 2025

blog1

JAKARTA | 21 Maret 2025 – Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang telah disahkan DPR RI pada Kamis (20/3) menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari praktisi hukum sekaligus murid asal Nusa Penida, Klungkung, Bali, Dr. I Made Subagio, SH, MH.

 

Sebagai Managing Partner di Firma Hukum Gusti Dalem Pering, Dr. Subagio menilai bahwa revisi ini membawa perubahan signifikan, terutama terkait penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil dan perpanjangan usia pensiun. Namun, ia mengingatkan bahwa penerapan aturan ini harus tetap mengedepankan prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan profesionalisme TNI agar tidak menimbulkan ketimpangan dalam tata kelola pemerintahan.

TNI Aktif di Jabatan Sipil: Harus Ada Kontrol yang Jelas

Salah satu perubahan krusial dalam revisi UU TNI adalah dihapuskannya aturan yang melarang TNI aktif menduduki jabatan sipil tanpa pensiun terlebih dahulu. Kini, TNI aktif menempati 14 kementerian/lembaga tertentu, seperti Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serta Mahkamah Agung dan Kejaksaan RI.

 

Menurut Dr. I Made Subagio, SH, MH, kebijakan ini berpotensi menimbulkan polemik jika tidak diatur dengan mekanisme yang jelas.

 

“Secara historis, pemisahan peran militer dan sipil adalah bagian dari TNI untuk memastikan supremasi sipil dalam pemerintahan. Jika TNI aktif kembali menduduki jabatan sipil, perlu ada pengawasan ketat agar tidak terjadi dominasi militer dalam birokrasi sipil,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa meskipun tujuan kebijakan ini adalah untuk memperkuat sinergi antara militer dan pemerintah, tetap harus dipastikan bahwa prinsip Netralitas TNI dalam politik tetap terjaga.

 

“Yang harus ditonjolkan adalah kemungkinan adanya konflik kepentingan, terutama dalam pengambilan kebijakan publik yang seharusnya tetap berada dalam ranah sipil,” ujarnya.

Perpanjangan Usia Pensiun: Keseimbangan Antara Regenerasi dan Kebutuhan Negara

 

Poin revisi lainnya adalah perubahan batas usia pensiun prajurit TNI, yang kini diperpanjang berdasarkan pangkat. Dalam UU TNI yang baru, batas usia pensiun perwira tinggi bintang 4 (Jenderal/TNI) maksimal 63 tahun, dengan kemungkinan perpanjangan dua kali melalui Keputusan Presiden.

 

I Made Subagio, SH, MH, menilai bahwa perpanjangan usia pensiun dapat memberikan stabilitas dalam kepemimpinan militer dan mempertahankan pengalaman perwira senior. Namun, ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak menghambat regenerasi di tubuh TNI.

“Perpanjangan usia pensiun harus seimbang dengan kebutuhan regenerasi. Jangan sampai kesempatan bagi perwira muda untuk naik pangkat menjadi terbatas. Ini harus dikaji dengan cermat agar tidak menimbulkan stagnasi dalam sistem kepangkatan di tubuh TNI,” jelasnya.

 

Selain itu, ia menyoroti bahwa perpanjangan usia pensiun tidak boleh menjadi alat politik, di mana pejabat tinggi yang masih aktif dapat digunakan sebagai alat kekuasaan tertentu.

Tambahan Tugas Pokok TNI: Harus Didukung Regulasi yang Kuat

 

UU TNI yang baru juga menambahkan tugas TNI dalam menangani ancaman siber serta perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.

 

I Made Subagio, SH, MH, menyambut baik penambahan ini, mengingat ancaman siber dan keamanan global saat ini semakin kompleks. Namun, ia menegaskan bahwa harus ada regulasi turunan yang memperjelas batas kewenangan TNI dalam tugas tersebut, agar tidak terjadi tumpang tindih dengan institusi lain seperti Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) atau Kementerian Luar Negeri.

 

“TNI memang memiliki peran strategis dalam menjaga pengawasan negara, termasuk di ruang siber. Namun, perlu ada batasan yang jelas agar peran ini tidak mengganggu tugas lembaga lain,” ungkapnya.

Kesimpulan: Perubahan Harus Dikawal dengan Regulasi yang Ketat

 

Secara keseluruhan, Dr. I Made Subagio, SH, MH, menilai bahwa revisi UU TNI ini memiliki dampak besar dalam struktur kelembagaan dan tata kelola pemerintahan di Indonesia. Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu menyiapkan regulasi turunan yang detail, termasuk pengawasan ketat dalam implementasinya.

 

“Revisi ini harus diikuti dengan peraturan yang jelas, agar tidak menimbulkan bias dan tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Yang paling penting adalah tetap menjaga prinsip supremasi hukum, netralitas TNI, dan keseimbangan dalam birokrasi sipil-militer,” tutupnya.

 

Dengan pengesahan UU ini, tantangan berikutnya adalah bagaimana pemerintah dan institusi terkait dapat memastikan bahwa perubahan tersebut benar-benar memberikan manfaat bagi sistem pertahanan dan demokrasi di Indonesia. (Tim)